Sunday, May 27, 2007

Drs Budi Purnomo
Guru Perlu Fasilitas Belajar

Berprofesi sebagai guru oleh sebagian orang, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, sering dipandang sebelah mata. Selain masalah gaji yang kecil juga tingkat kenakalan siswa yang demikian tinggi menyebabkan posisi guru menjadi dilematis.

Namun apabila guru bisa mengubah kepribadiannya terutama berkaitan dengan metode cara mengajar dan pendekatannya pada siswa, tentunya semua problem ini tidak akan ada masalah. Drs Budi Purnomo, guru SLTP Negeri 96, Pondok Labu, Jakarta Selatan, membuktikannya.

Berkat ketekunan dan kesabarannya mendidik siswanya, dia mendapat anugrah sebagai guru teladan utama wilayah Jakarta Selatan yang diselenggarakan Rotary Club Kebayoran dan Senayan. Dia pun berhak memperoleh seperangkat komputer dari Microsoft. ''Semua yang saya lakukan hanyalah perjalanan karier seorang guru yang bisa ditiru oleh siapa saja,'' tegasnya.

Sikap rendah hati pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 11 Nopember 1960 lalu dibuktikan ketika dewan juri yang diwakili Mien Uno (pakar kepribadian), Susan Stengel (Jakarta Internasional School) dan Imam Prasojo (sosiolog) mengumumkan pemenangnya. Ketika namanya disebut, tidak ada kata gembira yang berlebihan. Padahal dia sudah mengalahkan dua nominasi yang tak kalah tangguh.

Prosesnya menuju kursi nominator juga tidak gampang. Dia harus mengalahkan 66 guru SLTP yang ada di Jakarta Selatan. Setelah itu didapat 40 orang yang kemudian disaring kembali menjadi 20 guru. Dari jumlah itu lalu mereka dimintakan membuatkan makalah.

Berkat makalahnya yang berjudul 'Profil Guru di Era Globalisasi' inilah yang menjadikan dia layak sebagai guru teladan utama. Kendati makalahnya bertema klasik, namun isinya dipandang dewan juri bisa meningkatkan kulaitas pembelajaran pada siswa.

Dalam makalahnya, ia menekankan pentingnya penguasaan iptek dan kesinambungan peningkatan kualitas intelektual bagi guru. Pendidik, kata Budi, harus bisa tempatkan murid sebagai mitra. Juga bisa sebagai fasilitator dan motivator serta tegas terhadap hasil evaluasi untuk mempertahankan mutu.

Untuk menjadikan semua ini, suami dari Tri Setyowani itu mengungkapkan, tidak ada kata lain selain guru harus diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Atau diberi pendidikan lain ''Tanpa adanya itu saya rasa tidak mungkin,'' tegasnya.

Selama ini, pendidikan untuk meningkatkan kualitas guru sangatlah terbatas. Guru hanya diberi fasilitas berupa mengikuti seminar atau paling banter kursus pembelajaran. Jarang sekali guru dikursuskan komputer, bahasa Inggris, manajemen atau iptek lainnya.

Mereka yang bisa berbahasa Inggris, tahu komputer atau mengerti tentang manajemen biasanya berasal dari koceknya sendiri. ''Guru-guru yang sadar akan peningkatan kualitas inilah yang biasanya memacukan diri mengikuti kegiatan tersebut. Walau dengan biaya sendiri,'' tegasnya.

Padahal, lanjut ayah dari empat anak tersebut, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa gaji guru termasuk gaji yang terendah dibandingkan abdi negara lagi. Oleh karenanya dia sangat sadar kalau sebagian rekan-rekannya tidak menambah pengetahuan tersebut.

Oleh sebab itulah justru peran pemerintahlah di sini yang diperlukan. Bagaimana supaya guru-guru tersebut diberi fasilitas ke pembelajaran iptek. ''Syukur-syukur mereka diberi fasilitas untuk ikut program S2 atau S3 sekalian,'' tambahnya bersemangat.

Sebab apabila guru-guru menguasai semua bidang tersebut, tentunya daya pikir dan daya nalar guru akan bertambah. Sekaligus dengan itu tidak lagi disepelekan siswa-siswa yang sebagian besar lebih kaya raya daripada guru yang mengajar.

Namun dia sadar. Tentunya pemerintah juga tidak mempunyai cukup dana untuk membuat program tersebut. Oleh sebab itu dia menyarankan pada guru-guru rekannya yang lain supaya meningkatkan kepandaian di luar jam kantor.

Ditanya apakah guru merupakan cita-citanya sejak kecil, ia terdiam sejenak. ''Saya tidak tahu persis, apakah itu cita-cita sejak kecil,'' ujarnya kemudian. Baginya, hidup itu mengalir saja. Cita-citanya bulat untuk menjadi pendidik baru muncul setelah ia lulus Diploma III IKIP Jakarta tahun 1981.

Perjalanan karier putra pasangan dari Danusumarto dengan Risalatan cukup menarik. Setelah mengajar di SLTP yang sesuai dengan bidangnya jurusan seni musik, dia pun beralih mengajar ke bidang lain, yakni pelajaran Bahasa Inggris.

Mengapa demikian? Begitu diterima sebagai guru secara otomatis dia mempunyai uang. Karena itulah hasil dari gajinya digunakan kembali untuk meneruskan ke jenjang S1 di IAIN Ciputat. Bidang studi yang ditekuni bukan lagi seni tapi bahasa Inggris dan lulus tahun 1990.

''Waktu itu setelah belajar ke jenjang yang lebih tinggi dengan gampang guru dapat penyesuaian pangkat dan golongan. Karena itulah saya beralih sebagai pengajar bahasa Inggris,'' tegasnya.

Dia mengaku belajar seni musik tidak sia-sia. Bidang inilah yang ditumbuhkan untuk kegiatan ekstra kurikurer di sekolahnya. Yang dia diangkat sebagai guru pengajarnya dalam kegiatan ekstra kurikuler seni musik.

Berkat sentuhan tangan dingin dialah sekolahnya sering menjuarai beberapa kejuaran musik. Itu pula yang menjadi alasan sang kepala sekolah tempatnya mengabdi mengusulkannya sebagai guru teladan. lhk
( )

No comments: