Sunday, May 27, 2007

MENUJU PENDIDIKAN MASA DEPAN
Oleh : Pujianto


Salah satu masalah pendidikan yang kita hadapi dewasa ini adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan, antara lain memlalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualifikasi guru, penyediaan dan perbaikan sarana/prasarana pendidikan, serta peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang merata. Sebagaian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu yang cukup menggembirakan, namun Sebagian lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.

Pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan educational production function yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipilih semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi, mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.

Kedua, penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik, sehingga sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi, yang kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Dengan demikian sekolah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan lembaganya termasuk peningkatan mutu pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional.

Ketiga, peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi masyarakat pada umumnya selama ini lebih banyak bersifat dukungan dana, bukan pada proses pendidikan (pengambilan keputusan, monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas). Berkaitan dengan akunfabilitas, sekolah tidak mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan hasil pelaksanaan pendidikan kepada masyarakat, khususnya orang tua siswa, sebagai salah satu pihak utama yang berkepentingan dengan pendidikan.

Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya yang sekarang sedang dikembangkan adalah reorientasi penyelenggaraan pendidikan, melalui manajemen sekolah (School Based Management).

Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

1. Pengertian

Manajemen berbasis sekolah atau School Based Management dapat didefinisikan dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengembilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam pendidikan nasional.

2. Esensi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

Esensi dari MBS adalah otonomi dan pengambilan keputusan partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah. Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Kemandirian yang-dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan untuk mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaftif dan antisipatif, kemampuan bersinergi danm berkaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhan sendiri.

Pengambilan keputusan partisipatif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, di mana warga sekolah (guru, karyawan, siswa,orang tua, tokoh masyarakat) dkjorong untuk terlibatsecara langsung dalam proses pengambilankeputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.

Pengambilan keputusan partisipasi berangkat dari asumsi bahwa jika seseorang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan merasa memiliki keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan akan bertanggung jawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya makin besar tingkat partisipasi, makin besar pula rasa memiliki, makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab, dan makin besar rasa tanggung jawab makin besar pula dedikasinya.

Dengan pola MBS, sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) yang lebih besar dalam mengelola manajemennya sendiri. Kemandirian tersebut di antaranya meliputi penetapan sasaran peningkatan mutu, penyusunan rencana peningkatan mutu, pelaksanaan rencana peningkatan mutu dan melakukan evaluasi peningkatan mutu. Di samping itu, sekolah juga mmiliki kemandirian dalam menggali partisipasi kelompok yang brekepentingan dengan sekolah. Di sinilah letak ciri khas MBS.

Berdasarkan konsep dasar yang telah diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penyesuaian din dari pola lama manajemen pendidikan menuju pola baru manajemen pendidikan- masa depan yang lebih bernuansa otonomi yang demokratis. Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen dari yang lama menuju yang baru tersebut, dewasa ini secara konseptual maupun praktik tertera dalam MBS.

Perubahan dimensi pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang baru menuju MBS'dapat digambarkan sebagai berikut.

Dimensi-dimensi perubahan pola manajemen pendidikan dari yang lama ke pola yang baru menuju MBS dapat digambarkan sebagai berikut

Pola lama

Menuju

Pola baru

- Subordinasi

------>

- Otonomi

- Pengambilan keputusan terpusat

------>

- Pengambilan keputusan partisipasi

- Ruang gerak kaku

------>

- Ruang gerak luwes

- Pendekatan birokratik

------>

- Pendekatan Profesional

- Sentralistik

------>

- Desentralistik

- Diatur

------>

- Motivasi diri

- Overregulasi

------>

- Deregulasi

- Mengontrol

------>

- Mempengaruhi

- Mengarahkan

------>

- Memfasilitasi

- Menghindar Resiko

------>

- Mengelola resiko

- Gunakan uang semuanya

------>

- Gunakan yang seefisien mungkin

- Individu yang cerdas

------>

- Informasi terbagi

- Informasi terpribadi

------>

- Pemberdayaan

- Pendelegasian

------>

- Organisasi datar

- Organisasi herarkis

Mengacu pada dimensi-dimensi tersebut di atas, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya. Pengambilan keputusan akan dilakukan secara partisipatif dengan mengikutsertakan peran masyarakat sebesar-besarnya.

Selanjutnya,melalui penerapan MBS akan nampak karakteristik lainnya dari profil sekolah mandiri, di antaranya sebagai berikut :

1. Pengelolaan sekolah akan lebih desentaristik
2. Perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal dari pada diatur oleh luar sekolah.
3. Regulasi pendidkan menjadi lebih sederhana.
4. Peranan para pengawas bergeser dari mengontrol menjadi mempengaruhi.dari mengarahkan menjadi menfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.
5. Akan mengalami peningkatan manajemen.
6. Dalam bekerja, akan menggunakan team work
7. Pengelolaan informasi akan lebih mengarah kesemua kelompok kepentingan sekolah
8. Manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.

Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluwesan, dan sumber daya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan kemandiriannya, maka:

1. Sekolah sebagai lembaga pendidikan lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya dibanding dengan lembaga-lembaga lainnya.
2. Dengan demikian sekolah dapat mengoptimal kan sumber daya yang tersedia untuk memajukan lembaganya.
3. Sekolah lebih mengetahui sumber daya yang dimilikinya dan input pendidikan yang akan dikembangkan serta didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik,
4. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada, umumnya, sehingga sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasarn mutu pendidikan yang telah direncanakan.
5. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah-sekolah yang lainnya untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat.

Dengan demikian, secara bertahap akan terbentuk sekolah yang memiliki kemandirian tinggi. Secara umum, sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Tingkat kemandirian tinggi sehingga tingkat ketergantungan menjadi rendah
2. Bersifat adaptif dan antisipatif memiliki jiwa kewirausahaan tinggi (ulet, inovatif, gigih, berani mengambil resiko)
3. Bertanggung jawab terhadap input manajemen dan sumber dayanya.
4. Memiliki kontrol yang kuat terhadap kondisi kerja.
5. Komitmen yang tinggi pada dirinya.
6. Prestasi merupakan acuan bagi penilaiannya.

Selanjutnya dilihat dari sumber daya manusia sekolah yang mandiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pekerjaan adalah miliknya
2. Bertanggung jawab
3. Memiliki kontribusi terhadap pekerjaannya
4. Mengetahui poisisi dirinya dan memiliki kontrol terhadap pekerjaannya
5. Pekerjaan merupakan bagian hidupnya.

Dalam upaya menuju sekolah mandiri, terlebih dahulu kita perlu menciptakan sekolah yang efektif. Ciri sekolah yang efektif adalah sebagai berikut:

1.visi dan misi yang jelas dan target mutu yang harus sesuai dengan standar yang telah ditetapkan secara lokal.
2. Sekolah memiliki output yang selalu meningkat setiap tahun.
3. Lingkungan sekolah aman, tertib, dan menyenangkan bagi warga sekolah.
4. Seluruh personil sekolah memiliki visi, misi, dan harapan yang tinggi untuk berprestasi secara optimal.
5. Sekolah memiliki sistem evaluasi yang kontinyu dan komprehensif terhadap berbagai aspek akademik dan non akademik.

Untuk lebih jelasnya gambaran sekolah yang efektif (effective school) dapat digambarkan melalui gambar berikut ini.


Kesimpulan dan Saran

Sistem manajemen pendidikan yang sentralistis telah terbukti tidak membawa kemajuan yang berarti bagi peningkatan kualitas pendidikan pada umumnya. Bahkan dalam kasus-kasus tertehtu, manajemen yang sentralistis telah menyebabkan terjadinya pemandulan kreatifitas pada satuan pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan. Untuk mengatasi terjadinya stagnasi di bidang pendidikan ini diperlukan adanya paradigma baru dibidang pendidikan.

Seiring dengan bergulirnya era dtonomi daerah, terbukalah peluang untuk melakukan reorientasi paradigma pendidikan menuju ke arah desentralisasi pengelolaan pendidikan. Peluang tersebut semakin tampak nyata setelah dikeluarkannya kebijakan mengenai otonomi pendidikan melaJui strategi pemberlakuan manajemen berbasis sekolah (MBS. MBS bukan sekedar mengubah penedekatan pengelolaan sekolah dari yang sentralistis ke desentralistis, tetapi lebih dari itu melalui MBS diyakini akan muncul kemandirian sekolah.

Melalui penerapan MBS, kepedulian masyarakat untuk ikut serta mengontrol dan menjaga kualitas layanan pendidikan akan lebih terbuka untuk dibangkitkan. Dengan demikian kemandirian sekolah akan diikuti oleh daya kompetisi yang tinggi akan akuntabilitas publik yang memadai. ^

Daftar Pustaka

1. Depdiknas; Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 dan 2; Jakarta; Depdiknas
2. Dadi Permadi; Artikel Pikiran Rakyat; tanggal 17 Pebruari 2001

Drs Budi Purnomo
Guru Perlu Fasilitas Belajar

Berprofesi sebagai guru oleh sebagian orang, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, sering dipandang sebelah mata. Selain masalah gaji yang kecil juga tingkat kenakalan siswa yang demikian tinggi menyebabkan posisi guru menjadi dilematis.

Namun apabila guru bisa mengubah kepribadiannya terutama berkaitan dengan metode cara mengajar dan pendekatannya pada siswa, tentunya semua problem ini tidak akan ada masalah. Drs Budi Purnomo, guru SLTP Negeri 96, Pondok Labu, Jakarta Selatan, membuktikannya.

Berkat ketekunan dan kesabarannya mendidik siswanya, dia mendapat anugrah sebagai guru teladan utama wilayah Jakarta Selatan yang diselenggarakan Rotary Club Kebayoran dan Senayan. Dia pun berhak memperoleh seperangkat komputer dari Microsoft. ''Semua yang saya lakukan hanyalah perjalanan karier seorang guru yang bisa ditiru oleh siapa saja,'' tegasnya.

Sikap rendah hati pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, 11 Nopember 1960 lalu dibuktikan ketika dewan juri yang diwakili Mien Uno (pakar kepribadian), Susan Stengel (Jakarta Internasional School) dan Imam Prasojo (sosiolog) mengumumkan pemenangnya. Ketika namanya disebut, tidak ada kata gembira yang berlebihan. Padahal dia sudah mengalahkan dua nominasi yang tak kalah tangguh.

Prosesnya menuju kursi nominator juga tidak gampang. Dia harus mengalahkan 66 guru SLTP yang ada di Jakarta Selatan. Setelah itu didapat 40 orang yang kemudian disaring kembali menjadi 20 guru. Dari jumlah itu lalu mereka dimintakan membuatkan makalah.

Berkat makalahnya yang berjudul 'Profil Guru di Era Globalisasi' inilah yang menjadikan dia layak sebagai guru teladan utama. Kendati makalahnya bertema klasik, namun isinya dipandang dewan juri bisa meningkatkan kulaitas pembelajaran pada siswa.

Dalam makalahnya, ia menekankan pentingnya penguasaan iptek dan kesinambungan peningkatan kualitas intelektual bagi guru. Pendidik, kata Budi, harus bisa tempatkan murid sebagai mitra. Juga bisa sebagai fasilitator dan motivator serta tegas terhadap hasil evaluasi untuk mempertahankan mutu.

Untuk menjadikan semua ini, suami dari Tri Setyowani itu mengungkapkan, tidak ada kata lain selain guru harus diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Atau diberi pendidikan lain ''Tanpa adanya itu saya rasa tidak mungkin,'' tegasnya.

Selama ini, pendidikan untuk meningkatkan kualitas guru sangatlah terbatas. Guru hanya diberi fasilitas berupa mengikuti seminar atau paling banter kursus pembelajaran. Jarang sekali guru dikursuskan komputer, bahasa Inggris, manajemen atau iptek lainnya.

Mereka yang bisa berbahasa Inggris, tahu komputer atau mengerti tentang manajemen biasanya berasal dari koceknya sendiri. ''Guru-guru yang sadar akan peningkatan kualitas inilah yang biasanya memacukan diri mengikuti kegiatan tersebut. Walau dengan biaya sendiri,'' tegasnya.

Padahal, lanjut ayah dari empat anak tersebut, sudah bukan rahasia umum lagi bahwa gaji guru termasuk gaji yang terendah dibandingkan abdi negara lagi. Oleh karenanya dia sangat sadar kalau sebagian rekan-rekannya tidak menambah pengetahuan tersebut.

Oleh sebab itulah justru peran pemerintahlah di sini yang diperlukan. Bagaimana supaya guru-guru tersebut diberi fasilitas ke pembelajaran iptek. ''Syukur-syukur mereka diberi fasilitas untuk ikut program S2 atau S3 sekalian,'' tambahnya bersemangat.

Sebab apabila guru-guru menguasai semua bidang tersebut, tentunya daya pikir dan daya nalar guru akan bertambah. Sekaligus dengan itu tidak lagi disepelekan siswa-siswa yang sebagian besar lebih kaya raya daripada guru yang mengajar.

Namun dia sadar. Tentunya pemerintah juga tidak mempunyai cukup dana untuk membuat program tersebut. Oleh sebab itu dia menyarankan pada guru-guru rekannya yang lain supaya meningkatkan kepandaian di luar jam kantor.

Ditanya apakah guru merupakan cita-citanya sejak kecil, ia terdiam sejenak. ''Saya tidak tahu persis, apakah itu cita-cita sejak kecil,'' ujarnya kemudian. Baginya, hidup itu mengalir saja. Cita-citanya bulat untuk menjadi pendidik baru muncul setelah ia lulus Diploma III IKIP Jakarta tahun 1981.

Perjalanan karier putra pasangan dari Danusumarto dengan Risalatan cukup menarik. Setelah mengajar di SLTP yang sesuai dengan bidangnya jurusan seni musik, dia pun beralih mengajar ke bidang lain, yakni pelajaran Bahasa Inggris.

Mengapa demikian? Begitu diterima sebagai guru secara otomatis dia mempunyai uang. Karena itulah hasil dari gajinya digunakan kembali untuk meneruskan ke jenjang S1 di IAIN Ciputat. Bidang studi yang ditekuni bukan lagi seni tapi bahasa Inggris dan lulus tahun 1990.

''Waktu itu setelah belajar ke jenjang yang lebih tinggi dengan gampang guru dapat penyesuaian pangkat dan golongan. Karena itulah saya beralih sebagai pengajar bahasa Inggris,'' tegasnya.

Dia mengaku belajar seni musik tidak sia-sia. Bidang inilah yang ditumbuhkan untuk kegiatan ekstra kurikurer di sekolahnya. Yang dia diangkat sebagai guru pengajarnya dalam kegiatan ekstra kurikuler seni musik.

Berkat sentuhan tangan dingin dialah sekolahnya sering menjuarai beberapa kejuaran musik. Itu pula yang menjadi alasan sang kepala sekolah tempatnya mengabdi mengusulkannya sebagai guru teladan. lhk
( )

Pendidikan di Indonesia

oleh : Sunaryo Hadi

Membicarakan hal yang satu ini mungkin tidak akan habis-habisnya. Ya, dengan keadaan yang ada sekarang ini, ditandai dengan demo di sejumlah tempat yang pada dasarnya menuntut pendidikan murah. Tapi saya tidak ingin menulis tentang demo tersebut. Saya hanya ingin menceritakan beberapa keluhan handai taulan (bahkan sampai berdebat kusir hehehe) tentang pendidikan ini.

Salah satu teman saya, agak berang, bilang “Masak sudah sudah ada BOS, kita masih harus bayar Rp. 15.000 per bulan? Di SD lainnya kok enggak bayar lagi.”. Kebetulan memang anaknya berada di SD Negeri 2, dimana ada 3 SDN dalam satu lingkungan sekolah.

Saya coba jadi counter-nya, “Mungkin di SDnya banyak ekstra kurikuler. Sudah cek atau belum? Ada komputer atau enggak?”.

Dia langsung menyanggah, “Ah enggak ada kayak gituan. sama aja!”

Akhirnya lama berdebat, bahkan ditambah satu orang lagi. Cuma jadi kemana-mana buntutnya. Menuduh KepSek korupsi, Guru korupsi, Masya Allah. Setelah lama berdebat, disimpulkan bahwa sebagian dana anggaran orang tua tadi digunakan untuk perbaikan WC, prasarana gedung, tiang bendera, biaya mencat pagar dan lain-lain.

Akhirnya, saya merasa menyadari ada ketidak-adilan disini. Kalau sudah tidak adil, pasti melanggar Pancasila, “Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Kita bisa bandingkan SD Negeri di tengah kota dengan SD Negeri di kampung. Terasa sekali ketimpangan sosial antara kedua SD tersebut. Berita hari ini, ada satu SDN yang roboh.

Menurut ‘mata-adil’ saya, seharusnyalah setiap Sekolah Negeri di negeri ini mempunyai prasarana yang sama, baik dipedalaman Papua sana, atau yang berada di pusat kota Jakarta. Tidak boleh dibedakan. Karena ini Sekolah Negeri (atau Sekolah miliknya negara), maka tidak boleh juga menerima sumbangan dari pihak lain. Mutlak harus dibiayai negara.

Perbedaan Uang Pangkal juga menjadi pertanyaan. Kok, sama sama sekolah negeri uang pangkal berbeda? Tiap sekolah pasti punya jawaban (atau alasan) mengapa mereka menarik uang pangkal sedemikian besar. Uang sejenis inipun harus ditiadakan untuk sekolah Negeri. Alasannya sama dengan di atas, tidak boleh ada perbedaan antar sekolah negeri.

Tentu lain halnya dengan sekolah swasta, yang sah-sah saja menerima sumbangan dari pihak manapun.
Saya tidak tahu keadaan makro dari Anggaran Belanja Negara untuk pendidikan yang konon terlalu kecil. Saya juga tidak mengetahui kondisi dana subsidi Minyak (yang jadi BOS).

“Kaca mata” saya mungkin perlu diperbaiki, untuk menentukan apakah cukup adil kondisi di atas. Apakah benar pendapat saya, bahwa setiap Sekolah Negeri harus memiliki prasarana yang sama? Saya sendiri masih belum yakin. :)

Apalagi setelah baca blognya Harry Sekolah Swadaya - diskusi dengan penyelenggara sekolah gratis. Kok saya jadi merasa bahwa Negara tidak mampu memberikan pendidikan kepada warganya, seperti yang tercantum dalam UUD 45.

Selamat Hari Pendidikan Nasional!